LINGKARIN.COM – Salah satu fokus perbincangan panas terakhir terkait proses legislasi di parlemen RI adalah bagaimana agar pembuatan aturan berupa Rancangan Undang-undang (RUU) tidak kerap menimbulkan protes keras publik.
Protes muncul karena proses legislasi dianggap menyepelekan aspirasi dan partisipasi publik, naskah akademik yang lemah.
Sampai pada waktu penyusunan dan proses pengesahan RUU menjadi Undang-undang (UU) yang dipandang terlalu terburu-buru.
Belum Pernah dalam Sejarah, HUT Partai Dihadiri Presiden dan Wapres, Jokowi: Hanya Hanura
Skenario Kudeta Konstitusi: Hari Ini Berkuasa, Besok Bagaimana Caranya Tetap Bisa Berkuasa
Keriuhan baru ihwal penyusunan dan pengesahan RUU menjadi UU kembali hadir ketika RUU-KUHP disahkan oleh DPR RI pada Selasa (06/12/2022).
RUU-KUHP menjadi kontroversi publik karena memiliki 14 pasal krusial yang hingga saat disahkan masih ramai dibahas.
Menteri Yasonna Laoly sempat mengatakan bagi yang masih penasaran dengan pengesahan RUU KUHP silakan menyampaikan keberatan melalui pintu MK.
Sampaikan Narasi Sesuai dengan Fakta dan Data, Jubir Anies: Bukan Karangan atau Hoaks
CEK FAKTA: Komisi Pemilihan Umum Dikabarkan Anulir Peserta Pemiihan Umum 2024
Tetapi Yasonna lupa, persoalannya bukan pada mekanisme gugatan via MK – yang terakhir telah 21 kali menolak gugatan publik tentang Presidential Treshold 20%
Namun pengabaian kepada suara penolakan dan partisipasi masyarakat, seolah telah menjadi hal yang lumrah sejak pengesahan revisi Undang-undang KPK, UU Omnibus Law, dan UU Minerba beberapa waktu lalu.
Hal itu jika dibiarkan terus terjadi, akan menjadi preseden ke depan bahwa eksekutif dan legislatif dapat melenggang seenaknya dalam menyusun Undang-undang.
Bukankah Konsep Otorita Ini Sama dengan Melenyapkan Indonesia, yang Terdiri atas Daerah-daerah?
Ganjar Pranowo Bocorkan Alasan PDI Perjuangan Plih Nomor Urut 3 untuk Parpol Pemilu 2024
Dan menganggap suara penolakan dan permintaan partisipasi masyarakat bagai angin lalu yang tidak perlu “direken”.
Sebagaimana diketahui pada akhir 2019 lalu, bersamaan dengan protes masyarakat dan mahasiswa terhadap Revisi UU KPK, suara penolakan terhadap RUU KUHP telah kencang pula diteriakkan.
14 Pasal krusial yang dipermasalah di antaranya adalah soal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wapres pada pasal 218, yang dapat dikenai pidana penjara 3 tahun.
Soal Akurasi Data Verifikasi Faktual Partai Politik, Bawaslu Temukan 5 Catatan Kritis
Membaca Ketegangan antara Pandangan Separatis dengan Pandangan Solidaris
Penolakan beberapa pasal lain, kini disuarakan juga oleh LBH Jakarta dan pengacara kondang Hotman Paris yang meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan RUKUHP baru.
Pengabaian terhadap pastisipasi publik dan suara penolakan masyarakat terhadap RUU Cipta Kerja/Omnibus Law (UU No 11/2020) juga terjadi.
Ketika LKS Tripartit Nasional menyatakan tidak pernah diikutsertakan dalam proses perencanaan, penyusunan, dan pembahasan draft RUU Ciptaker hingga pada saat RUU tersebut disahkan menjadi Undang-undang.
L’etat C’est Moi: Negara adalah Saya, Partai Politik Mencengkeram Republik Indonesia
Lembaga Survei Poltracking Sebut Elektabilitas Erick Thohir 3 Teratas di 5 Provinsi Berikut
Padahal, Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit nasional dibentuk oleh Presiden dan bertanggungjawab terhadap Presiden.
Namun, sejak awal hingga pengesahan UU Ciptaker LKS Tripartit Nasional tidak pernah dimintakan saran, pendapat ataupun usulan terkait RUU tersebut.
Para anggota LKS Tripartit Nasional tersebut juga mengaku tidak pernah menerima draft RUU Ciptaker dari pemerintah. Sesuatu yang amat mengherankan.
Pelibatan publik dan perhatian terhadap suara-suara menolak ataupun mendukung segala Rancangan Undang-undang seharusnya tidak menjadi persoalan besar.
Manakala pihak legislatif atau eksekutif memahami benar bahwa rencana aturan hukum yang disahkan menjadi Undang-undang akan dirasakan sendiri oleh masyarakat.
Dampak langsung atau tidak langsung, masyarakatlah yang akan menerima sanksi jika melanggar Undang-undang.
Tidak hanya sanksi, risiko terkena dampak rusaknya lingkungan berupa banjir dan bencana alam lainnya juga akan langsung dirasakan masyarakat.
Jika aturan perundangan yang mengatur ekploitasi sumber daya alam dibuat terlalu menguntungkan perusahaan.
Lagipula, harus kembali disadari bahwa pelibatan masyarakat dalam setiap pembuatan produk Undang-undang didasarkan pada 3 Landasan.
Yakni Landasan Filosofis, Landasan Yuridis, dan Landasan Sosiologis.
Jika ketiga landasan itu tidak digunakan maka besar kemungkinan produk Undang-undang tersebut dibuat oleh rezim yang mempunyai politik hukum otoriter.
Oleh karenanya pada setiap pembuatan RUU harus melalui proses penyusunan Naskah Akademik, membuat rancangan, membuka partisipasi publik.
Memperbaiki naskah akademik sesuai masukan masyarakat, baru disampaikan ke DPR. Partisipasi masyarakat akan tercermin dari uji publik untuk setiap tahapan draf.
Jadi jika setiap RUU pada beberapa waktu terakhir selalu saja menimbulkan protes publik secara luas dan dilakukan secara tergesa-gesa untuk disahkan menjadi Undang-undang, maka kepentingan siapakah yang paling diutamakan?
Seharusnya kasus UU Omnibus Law yang dinyatakan cacat formal dan cacat prosedur oleh Mahkamah Konstitusi bisa dijadikan pelajaran.
Bahwa pembentukan UU yang dilakukan secara cepat, terburu-buru dengan naskah akademik yang lemah dan minim partisipasi masyarakat berisiko menghasilkan produk UU yang amat lemah akuntabilitasnya.
UU tersebut dinilai tidak bisa dipertanggungjawabkan karena parlemen didominasi oleh pendukung pemerintah, dan menyebabkan matinya pengawasan politik di parlemen.
Karenanya, sudah saatnya proses legislasi di parlemen dievaluasi agar muatan ketentuan perundangan di dalamnya dapat menjadi acuan yang disetujui oleh semua pihak.
Alasan padatnya waktu dan kesibukan di parlemen tidak dapat diterima karena secara kuantitas jumlah Undang-undang yang disahkan DPR RI baik pada masa bakti 2014-2019 hanya menghasilkan 91 RUU yang disahkan menjadi UU
Sedangkan masa bakti 2019-2024 yang sudah berjalan 3 tahun hanya menghasilkan 43 UU yang disahkan.
Berbeda jauh dengan DPR RI masa bakti 2004-2009 yang mampu menghasilkan 167 RUU menjadi UU yang disahkan.
Jika secara kuantitas lebih rendah, maka lebih banyak waktu yang dapat digunakan untuk menghasilkan kualitas produk Undang-undang yang lebih bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh: Pril Huseno, Jurnalis dan Pemerhati Kebijakan Publik.***
Klik Google News untuk mengetahui aneka berita dan informasi dari editor Lingkarin.com, semoga bermanfaat.