LINGKARIN.COM – Menkoperekonomian, Menkopolhukam, dan Wamenkumham melalui siaran pers Sekretariat Presiden menyampaikan pengumuman.
Bahwa Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker).
Keberadaan Perppu 2/2022 disebut mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat (cacat formil) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Mempunyai Kemiripan Basis Suara, Kehadiran Partai Ummat Bisa Guncang Partai PAN
Sandiaga Uno Bisa Maju Pilpres 2024 dari Partai Lain, Gerindra Sudah Putuskan Capres Prabowo
Menurut Pemerintah, kehadiran Perppu Ciptaker telah memenuhi syarat dibentuknya sebuah Perppu yakni adanya kebutuhan mendesak dan kekosongan hukum.
Pernyataan ini tidak berdasar dan patut dipertanyakan logikanya, mengingat MK dalam Putusan 91/PUU-XVIII/2020 mensyaratkan UU Ciptaker untuk diulang proses pembentukannya dengan memerhatikan salah satunya mengenai partisipasi yang bermakna.
Hak Politik Tak Dicabut, Romahurmuziy Bisa Kembali ke Politik Asal Tidak Langgar Hukum
PPP Beri Alasan Tunjuk Romahurmuziy Jadi Pengurus, Salah Satunya Bebas Sejak 3 Tahun Lalu
Penerbitan Perppu adalah seperti siasat sehingga secara keseluruhan seolah mengkhianati amanah MK demi mengakali syarat partisipasi bermakna ini.
Penerbitan Perppu Ciptaker ini merupakan sinyal kuat bagaimana Pemerintah mendudukkan publik dalam proses legislasi. Ada tiga corak utama yang lahir sejak 2019 yang terus berulang hingga kini dalam proses legislasi.
Pertama, memposisikan publik sebagai pihak yang berhadapan dengan Pemerintah dalam proses legislasi.
Pesan ini terang dan jelas apabila kita memerhatikan bahwa dalam setiap dinamika dalam proses pembentukan undang-undang, kerap terlontar kalimat “kalau menolak RUU ini, silakan maju ke MK” dari Pemerintah.
PDI Perjuangan Berpotensi Koalisi Tunggal dengan Capres Puan Maharani atau Ganjar Pranowo
Sandiaga Uno Tegaskan Statusnya Masih Kader Gerindra dan Patuh Arahan Prabowo Subianto
Alih-alih menempatkan publik sebagai mitra dalam proses penyusunan, yang terjadi justru memposisikan publik sebagai lawan; padahal rakyat-lah yang akan terdampak dalam pelaksanaan suatu undang-undang.
Pengenyampingan partisipasi publik terlihat dari program “sosialisasi” yang praktiknya adalah safari komunikasi satu arah dari pihak Pemerintah, yang kemudian diklaim sebagai pemenuhan syarat partisipasi.
Kedua, menempatkan pemangku kepentingan dalam posisi tidak seimbang dalam perencanaan, penyusunan dan pembahasan produk hukum.
Mantan Terpidana Kasus Korupsi Romahurmuziy Terjun Kembali ke Dunia Politik, Begini Respons KPK
Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sebut Menparekraf Sandiaga Uno Bukan Menteri dari Gerindra
Terlihat bahwa ada perbedaan dalam pelibatan pihak-pihak terdampak dalam proses legislasi.
Contohnya bisa dilihat dari penyusunan Omnibus Cipta Kerja di tahun 2019 hingga KUHP di tahun 2022.
Hanya mereka yang memiliki kepentingan sama dengan Pemerintah yang mendapat karpet merah mendapat panggung untuk didengar.
Usulan Sistem Proporsional Tertutup, Jadi Bukti Menguatnya Oligarki Partai Politik
Persoalan Menemukan Pemimpin Ideal bagi Bangsa Indonesia Memasuki Babak Krusial
Namun kelompok buruh, kelompok disabilitas, kelompok minoritas agama, kelompok minoritas seksual, serta kelompok masyarakat rentan lainnya justru terdiskriminasi dengan tidak mendapat ruang dan pelibatan secara aktif dalam penyusunan produk hukum tersebut.
Ketiga, kerancuan dalam skala prioritas materi muatan legisasi.
Pertimbangan kekosongan hukum yang seharusnya menjadi salah satu prasyarat utama dalam pembentukan Perppu tidak terpenuhi dalam Perppu Cipta Kerja.
Survei SMRC: Kinerja Jokowi Dinilai Memuaskan Tapi Tak Berarti Harus Terus Berkuasa
Survei Soal Calon Wapres, Ridwan Kamil Kalahlan Sandi Uno, AHY, Erick Thohir dan Khofifah
Justru mandat dari putusan MK untuk menyusun ulang UU Omnibus Cipta Kerja tersebut malah secara aktif diabaikan oleh Pemerintah dengan keluarnya Perppu ini.
Argumentasi kepentingan ekonomi dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja ini juga memberikan kode yang membingungkan bagi publik.
Apabila ada kebutuhan pengencangan anggaran karena potensi ekonomi yang memburuk, mengapa justru ada pengeluaran uang dengan skala massif, misalnya untuk membangun IKN dan memaksakan pembentukan UU IKN.
Oesman Sapta Odang Puji Kepribadian Presiden Jokowi: Pandai Merasa dan Bukan Merasa Pandai
7 Tantangan Besar Indonesia 2023: Demokrasi Harus Bisa Diselamatkan
Contoh lain adalah keluarnya agenda demi agenda legislasi yang sebetulnya tidak ada urgensi namun diduga keras demi mengakomodir kepentingan elit; seperti revisi UU KPK di tahun 2019, revisi UU MK di tahun 2020 hingga UU IKN di tahun 2022.
Pemerintah Semakin Abai Untuk Menghadirkan Partisipasi Bermakna dalam Legislasi
Penerbitan Perppu Ciptaker semakin menegaskan bahwa publik tidak ada artinya bagi Pemerintah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Inilah Jawaban Erick Thohir Saat Ditanya Apakah akan Nyapres di Pemilu Presiden 2024?
Soal Intimidasi Rekayasa Hasil Verifikasi Faktual Partai Politik, Ini Penjelasan Resmi KPU
Keharusan untuk menghadirkan partisipasi bermakna justru direspon dengan semakin mendangkalkan saluran-saluran partisipasi masyarakat.
Hal tersebut terlihat dari dua Perppu yang baru saja terbit pada tahun 2022, yakni Perppu Pemilu dan Perppu Ciptaker.
Tidak hanya pada tingkat pembentukan Perppu, penyumbatan ruang partisipasi bermakna juga dilakukan pembentuk UU dalam beberapa kesempatan seperti UU Ibu Kota Negara (UU IKN) dan KUHP.
Sekalipun MK telah beberapa kali menegaskan dalam putusannya tentang pentingnya partisipasi yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sinyal yang diterima publik adalah praktik ugal-ugalan Pemerintah dalam proses legislasi demi memenuhi kepentingan oligarki.
Ruang Gelap Proses Legislasi
Di samping banyaknya pertanyaan dan polemik yang ditimbulkan dari penerbitan Perppu Ciptaker, celakanya sampai dengan rilis ini disusun dokumen Perppu Ciptaker belum dapat diakses.
Hal itu menguatkan kesan bahwa Pemerintah semakin menarik proses pembentukan peraturan perundang-undangan ke ruang gelap.
Padahal prinsip transparansi adalah prasyarat terbukanya ruang partisipasi yang bermakna.
Tidak hadirnya ruang partisipasi bermakna dalam proses legislasi membawa semakin dalam ke jurang kemunduran proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Ditambah saat ini terjadi langkah-langkah penjinakkan Mahkamah Konstitusi melalui revisi UU MK tahun 2020 sebagai antisipasi adanya uji materi produk legislasi bermasalah.
Kita juga bisa melihat peran DPR yang semakin tumpul dengan terus mengakomodasi kepentingan Presiden dalam proses legislasi.
Atraksi yang diperlihatkan DPR dalam menjalankan perannya sebagai pemegang kuasa proses legislasi juga kerap sama dan sebangun dengan Pemerintah sehingga fungsi penyeimbangan yang seharusnya terjadi malah absen.
Penyusunan legislasi yang seharusnya mendapat sorotan terang agar bisa terpantau rakyat justru terjadi di ujung Desember saat warga mulai absen di ruang publik karena menikmati jeda akhir tahun.
Fakta bahwa draft Perppu tidak langsung disebarluaskan pasca pengesahannya semakin menasbihkan bahwa proses legislasi disusun hanya untuk kepentingan elit belaka.
Berdasarkan poin-poin tersebut PSHK mendesak:
- DPR untuk menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja karena telah mengabaikan Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020;
- Presiden dan DPR harus melakukan pembahasan kembali UU Ciptaker sebagaimana amanat UU MK 91/PUU-XVIII/2020 dengan menghadirkan ruang partisipasi masyarakat yang bermakna dalam prosesnya; dan
- Presiden dan DPR untuk menghentikan praktik ugal-ugalan dalam proses legislasi dan kembali pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Oleh: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia. Artikel dikutip dari Pshk.or.id – laman resmi PSHK.***