LINGKARIN.COM – Rabu 30 Desember 2022, di penghujung tahun ini Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Yang disampaikan dalam keterangan pers bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD serta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, di Kantor Presiden.
Sampai dengan saat ini Publik belum dapat mengakses PERPPU tersebut.
Pelaku Penusukan Kolonel Purn Sugeng Waras Ditangkap, Polisi Belum Tahu Motifnya Reshuffle Kabinet Indonesia Maju, Sufmi Dasco Ahmad: Gerindra Tak Ingin dan Tak Perlu Ikut Campur
Atas dasar penerbitan tersebut, LBH Jakarta menyatakan sikap mengecam penerbitan PERPPU No. 2 Tahun 2022 karena tidak dilatarbelakangi keadaan genting yang memaksa dalam menjalankan kehidupan bernegara.
Serta merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional.
Mengenai penerbitan PERPPU a quo LBH Jakarta berpandangan:
Tak Termasuk PDIP, Inilah 8 DPR yang Bersikap agar Pemilu 2024 Gunakan Proporsional Terbuka KPK Tanggapi Mantan Terpidana Kasus Korupsi Romahurmuziy Terjun Kembali ke Dunia Politik
Pertama, Penerbitan PERPPU Cipta Kerja Diterbitkan Tidak Dalam Kegentingan yang Memaksa
Bagir Manan memberikan kriteria bahwa unsur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud Pasal 22 UUD NRI 1945 harus menunjukkan dua ciri umum, yaitu:
(1) ada krisis (crisis). Suatu keadaan krisis apabila terdapat suatu gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbance).
BMKG Minta Masyarakat untuk Waspada Potensi Gelombang Tinggi hingga 6 Meter di Sejumlah Perairan PPP Dinilai Gagal dalam Regenerasi Kader, Kembalinya Romahurmuziy Bisa Ganggu Internal Partai
(2) kemendesakan (emergency). Kemendesakan (emergency) ini dapat terjadi apabila berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.
Penerbitan PERPPU seharusnya tidak menjadi alat kekuasaan Presiden semata, walaupun merupakan kekuasaan absolut yang dibenarkan konstitusi (constitutional dictatorship).
Penerbitan PERPPU harus menjadi wewenang bersyarat bukan wewenang yang secara hukum umum melekat pada Presiden.
Perppu Cipta Kerja, Apa Betul Resesi Ekonomi Global Bisa Dijadikan Alasan Kegentingan yang Memaksa? Gadis Bersarung yang Ditemukan Lemas di Sekitar Persawahan, Ternyata Korban Kekerasan Seksual
Pernyataan Airlangga Hartanto latar belakang penerbitan PERPPU karena adanya dampak perang Rusia-Ukraina dan “kondisi krisis ini sangat nyata untuk emerging developing country” sangatlah jauh dari keadaan bahaya.
Baik secara kedekatan teritorial maupun sosial-ekonomi-politik, sarat akan kepentingan pengusaha.
Dan proses pembentukan undang-undang masih dapat dilaksanakan secara biasa atau normal sebagaimana syarat yang ditentukan ditentukan dalam Pasal 22 UUD NRI 1945 dan Putusan MK 138/PUU-VII/2009.
Perppu Tentang Cipta Kerja, Netty Aher: Akal-akalan Pemerintah untuk Telikung Putusan MK Belum Terima Salinan Perppu Cipta Kerja, Keputusan DPR Hanya Bisa Terima atau Tolak Perppu
Selain itu, perlu adanya penjelasan secara ilmiah (scientific) dengan menggunakan berbagai medium pemerintah secara partisipatif yang meluas menyentuh tiap-tiap lapisan masyarakat
Bilamana ada gejala akan menghadapi situasi genting dan memaksa. Artinya, tidak menjadi tafsir subjektif Presiden beserta Kabinet saja.
Kedua, Sebagai Perwakilan Konstituen DPR Harus Mendengar dan Bersikap Memihak Terhadap Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat memberi persetujuan atau tidak atas PERPPU dalam persidangan DPR yang berikutnya
Sesuai dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur bahwa “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”.
Artinya, DPR harus betul-betul mendengar dan mempertimbangkan suara masyarakat atas terbitnya PERPPU a quo sebagai pemegang mandat para konstituen.
DPR juga harus mengambil kesepakatan untuk tidak menyetujui PERPPU a quo sebagai bentuk perimbangan kekuasaan (checks and balances) dan koreksi secara politis demi mencegah keberlanjutan tindakan inkonstitusional.
Yakni membenarkan penerbitan PERPPU a quo sebagai tindak lanjut Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020 dan solusi atas adanya kegentingan yang memaksa yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.
Ketiga, Keterbukaan dan Pendokumentasian Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Buruk
Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dikarenakan proses pembentukan undang-undang tidak adanya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Dengan adanya PERPPU a quo Presiden bertindak tidak menghiraukan isi putusan MK dan melanjutkan praktik buruk legislasi.
Paling tidak publik dapat melihat dan membaca isi draf PERPPU a quo, kenyataannya publik sulit mengakses PERPPU a quo
Bahkan pada Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) lembaga-lembaga pemerintahan yang merupakan kebiasaan buruk yang berulang dalam proses legislasi Indonesia.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, LBH Jakarta mendesak:
1. Presiden RI untuk menarik kembali PERPPU No. 2 Tahun 2022; DPR RI untuk tidak menyetujui penerbitan PERPPU No. 2 Tahun 2022;
2. Presiden RI dan DPR RI untuk menghentikan segala bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi;
3. Presiden RI dan DPR RI untuk menghentikan praktik buruk legislasi dan mengembalikan semua proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip-prinsip Konstitusi, Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia.
Oleh: LBH Jakarta. Artikel dikutip dari Bantuanhukum.or.id – laman resmi LBH Jakarta.***